Pemenang yang Dimenangkan

adi munazir pengacara

Modernis.co, Malang – Pertempuran sengit demokrasi ala Indonesia baru saja disudahi. Keluar Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang yang dimenangkan berdasar putusan Mahkamah Konstitusi No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang di disiarkan secara langsung dari ruang sidang MK, Kamis (27/6/2019).

Putusan sengketa perselisihan hasil Pilpres 2019 yang dibacakan secara bergantian oleh hakim MK selama kurang lebih 8 jam memang membosankan para pendengar seluruh alam. Putusan setebal 1944 halaman itu pada intinya menolak gugatan Prabowo-Sandi sebagaimana yang diredaksikan di halaman 1942.

Dalam logika hukum bahwa menolak gugatan Prabowo artinya menguatkan putusan  KPU Nomor 987/PL.01.8- Kpt/06/KPU/V/2019 yang disengketakan oleh kubu 02. Dalam amarnya MK dengan berani menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh kubu 02 yang dikomandoi oleh pengacara senior Bambang Wijayanto.

Putusan ini tentu mengecewakan publik mengingat ada banyak aspek sosiologis yang yang tidak diperhatikan secara serius. Putusan tersebut merupakan pukulan tajam yang ketiga kali bagi Prabowo sejak dulu masih bermesraan dengan PDIP di tahun 2009.

Prabowo hanya kalah di 2009 melawan SBY dan JK selebihnya di 2014 dan 2019 Prabowo dikalahkan oleh 9 hakim konstitusi yang di kepalai oleh Anwar Usman.

Rentetan pertarungan keras yang diikuti oleh Prabowo akan dikenang sejarah sebagai pertarungan yang kedua yang yang dihentikan dengan dalih konstitusional oleh 9 hakim yang ada di MK.

Dalam sejarahnya memang istilah Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM) populer dalam diskursus sengketa politik tanah air sejak gugatan sengketa pilkada Jatim tahun 2008 yang dilayangkan oleh Khofifah terhadap dugaan kecurangan yang dilakukan oleh kubu Soekarwo-Saifullah Yusuf.

Isu TSM pun kembali menggema secara keras pada pilpres 2014 lalu lalu terdengar kembali secara merata nan masif pada pilpres 2019. 

Kecurangan Terstruktur, Sistemastis dan Masif (TSM) yang didalilkan oleh pihak 02 ditolak mentah-mentah oleh MK dengan dasar bahwa bukan kewenangan MK untuk memeriksa dan mengadili dalil-dalil yang bersifat kualitatif.

Padahal MK pernah keluar dari wewenang normatifnya (memeriksa dan mengadili kompetensi sengketa hasil pemilu) seperti pada putusan Pilkada Kotawaringin Barat pada tahun 2010, Pilkada Bengkulu Selatan tahun 2008, Pilkada Tebing Tinggi tahun 2010, dan Pilkada Supiori tahun 2010.

Melalui beberapa putusan Pilkada tersebut menunjukkan bahwa MK pernah membuat terobosan hukum progresif atas sengketa pilkada yang tidak hanya memeriksa dan mengadili sengketa kuantitafif (TSM) akan tetapi juga hal-hal kualitatif. Tetapi MK kembali memilih jalur kaku (konservatif) dan memberi preseden buruk dengan fatwa bahwa wilayah kualitatif bukan wewenang MK  sehingga sengketa pilpres perihal kualitatif (TSM) yang didalilkan tertolak dengan berbagai alasan. 

Kekakuan MK menjadi menarik dan membangkitkan spekulasi tajam bahwa putusan MK berada dibawah tekanan penguasa. MK tidak memperhatikan aspek sosiologis yang telah membuat terbelahnya masyarakat arus bawah kedalam dua kubu politik yang sangat kronis sejak tahun 2014 silam.

Data- data kecurangan kuantitatif yang didalilkan oleh kubu 02 juga dianggap tidak terbukti oleh MK sehingga membuat kesaksian yang diperdengarkan selama hampir kurang lebih 20 jam dipersidangan dan atau video-video dan atau gambar yang tersebar di medsos menjadi sirna dan tak memiliki daya pembuktian yang gagah di mata hukum. 

Tampak opini di tengah-tengah masyarakat bahwa ada prinsip jujur dan adil yang dilanggar selama pemilihan berlangsung. Namun MK tampak tidak bernyali untuk hadir menuntaskan permasalahan yang sedang membara itu dengan memberikan air peredam yang dirasa cukup beralasan sebagai bagian dari the guardian of constitution (penjaga konstitusi).

Putusan MK yang sedemikian justru mempertegas garis demarkasi antar pendukung  sehingga roda kegaduhan kekuasaan untuk lima tahun mendatang akan semakin kencang bergoyang. Putusan tersebut hanya menguatkan kekuasaan di aspek legalitas namun lemah di sisi legitimasi. 

Pemerintah yang lemah di wilayah legitimasi tentunya akan berhadapan dengan pertentangan-pertentangan abadi, terlebih kesan kecurangan yang TSM dalam  proses menghasilkan kekuasaan masih mengalir deras difikiran masyarakat pasca gugatan yang ditolak secara tak bijak oleh MK.

Kemenangan Jokowi adalah proses kemenangan yang dimenangkan bukan kemenangan yang memenangkan pertarungan karena melibatkan lembaga lain dalam hal ini MK yang hadir dengan putusan yang tidak menggembirakan. 

Sekali lagi bahwa putusan MK soal pilpres hanya soal legalitas di mata hukum. Perihal legitimasi kekuasaan bersemayam dalam fikiran dan tindakan masyarakat, ia tidak dapat diputus dan dibuat dalam sebuah konsensus elit manapun.

Kemenangan yang pasif (dimenangkan) tersebut jelas memiliki artian yang berbeda dengan kemenangan yang aktif (memenangkan) karena berkaitan dengan  power yang berbeda dalam proses menjalankan kuasa.  

Oleh : Adi Munazir, SH (Peneliti di PeaceLink Malang) 

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment